Kamis, 20 Januari 2011

LURAH-LURAHAN-1 (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-25)

Ada satu permainan anak tradisional dari masyarakat Jawa, terutama di DI. Yogyakarta, yang namanya cukup keren dan unik, yaitu “Lurah-Lurahan”. Namun dalam permainannya, ternyata seorang pemain tidak berpura-pura menjadi lurah (kepala desa), tetapi itu hanyalah sebuah nama permainan saja. Memang, biasanya dalam bahasa Jawa, apabila ada kata yang diulang, maka salah satu arti adalah menyerupai bentuk kata dasarnya, misalnya kucing-kucingan, maka dalam permainan itu, ada salah satu anak pemain yang berpura-pura menjadi seekor kucing. Namun begitu, ternyata istilah lurah-lurahan dalam permainan ini lebih untuk menunjuk alat yang dipakai untuk bermain. Alat untuk bermain tersebut terbuat dari lidi. Salah satu bentuk lidi yang ditekuk atau dipatahkan dianggap sebagai “lurah, mbok, atau gacuk”. Jadi permainan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan seorang anak yang seolah-olah menjadi lurah. Di daerah lain seperti di Sleman, ada yang menyebut dolanan ini dengan nama cuthikan. Sebab, memang dalam permainannya ada unsur “nyuthik” yang artinya mengambil sesuatu dengan bantuan alat yang “dicuthikkan”. Mungkin penamaan di daerah lainnya juga akan berbeda. Dalam bahasa Jawa, sesuai Baoesastra Jawa (karya W.J.S. Poerwadarminta, 1939, hlm 279) dikenal kata “lurah” yang berarti penguasa di suatu wilayah pedesaan. Mungkinkah kata turunan “lurah-lurahan” terinspirasi dari kata itu?
Permainan tradisional ini termasuk salah satu dolanan yang memakai alat, yaitu lidi atau istilah bahasa Jawa, biting. Bisa juga memakai kayu. Namun umumnya memakai lidi karena mudah diperoleh. Selain itu, juga menggunakan bantuan alat kapur atau sejenisnya untuk menggaris kotak sebagai pembatas permainan. Dolanan ini dikenal di berbagai daerah dan cukup merata. Biasanya yang bermain dolanan ini adalah kelompok anak-anak sekolah dasar usia 7-12 tahun, baik laki-laki, perempuan, atau campuran. Jenis dolanan ini tidak banyak menguras tenaga, hanya membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Waktu yang sering dipakai untuk bermain dolanan ini adalah waktu senggang, bisa pagi, siang, atau sore hari.
Seperti dolanan lain yang tidak banyak membutuhkan tempat yang luas, permainan “lurah-lurahan” juga hanya membutuhkan tempat terbatas, minimal 1 meter persegi. Jika dilakukan berkelompok atau satu kelompok terdiri dari 4-5 orang, setidaknya membutuhkan tempat agak luas sedikit, kira-kira 3-4 meter persegi. Lahan untuk menggambar “lurah-lurahan” sendiri hanya membutuhkan luas 30 x 30 cm untuk satu kelompok permainan. Tempat yang biasa dipakai adalah tempat-tempat yang rata, seperti lantai tegel, ubin, keramik, atau tanah yang rata. Sebaiknya dimainkan di tempat aman serta teduh (terhindar dari panas dan hujan).
Dolanan ini setidaknya dimainkan minimal 2 anak. Bisa juga dimainkan oleh 3 atau 4 anak. Jika lebih dari 4 anak, sebaiknya membentuk kelompok sendiri. Sebelum mereka “sut” atau “hompimpah” untuk menentukan urutan bermain, mereka membuat kotak sama sisi kira-kira 30 x 30 cm, satu buah, bisa dengan kapur atau alat lainnya. Setelah itu, anak-anak juga harus mempersiapkan batang lidi sebanyak 9 buah, dengan rincian, 8 buah dengan panjang 10 cm dan 1 buah dengan panjang 12 cm. Panjang lidi 12 cm berfungsi sebagai “lurah” atau alat untuk mengambil (istilah bahasa Jawa: “nyuthik”). Panjang lidi 12 cm harus ditekuk pada ujungnya, kira-kira di antara panjang 10 dan 2 cm.
Selain itu, semua pemain harus menyepakati peraturan bersama, yang biasanya disepakati secara lisan. Di antara kesepakatan lisan adalah: 1) jika ada batang lidi setelah dilempar berada di luar kotak atau di atas garis, tidak diikutkan; 2) saat mengambil sebuah lidi menyebabkan lidi lain bergerak, berarti mati; 3) batang lidi “lurah” bisa dipakai untu mengambil “nyuthik” batang lidi lainnya; nilai sebatang lidi, misalkan 10, 20, dan seterusnya; 4) batas nilai finish (mendapat sawah) disekapati bersama, misalkan 500, 1.000, dan sebagainya); bagi yang paling sedikit mendapat nilai, dianggap kalah (boleh dengan hukuman atau tanpa hukuman, sesuai kesepakatan).
Apabila dalam 1 kelompok dimainkan oleh 2 pemain, misal A dan B, maka keduanya bisa bermain saling berhadap-hadapan. Apabila B mendapat giliran pertama bermain, maka ia memegang 9 batang lidi. Dengan jarak sekitar 30 cm di atas lantai, pemain B melemparkan batang-batang lidi tersebut ke dalam kotak yang ada di hadapannya. Maka batang-batang lidi akan terlempar dan bertebaran di dalam kotak. Jika ada lidi yang terlempar di luar kotak atau berada di atas garis kotak, maka batang lidi tersebut dianggap diskualifiasi atau tidak diikutkan dalam penilaian saat itu juga.
Suwandi
Sumber: Buku “Permainan Rakyat DIY”, Ahmad Yunus (editor), Depdikbud, 1980/1981, serta pengamatan pribadi

Rabu, 19 Januari 2011

BENTHIK

Anak laki-laki di lingkungan masyarakat Jawa yang lahir sebelum tahun 1970-an, tentu sudah tidak asing lagi dengan sebuah permainan yang dinamakan benthik. Mereka tentu akan teringat sekali jenis alat permainannya maupun cara bermain. Memang, permainan satu ini juga merupakan salah satu jenis permainan tradisional yang sering dipermainkan oleh anak laki-laki di lingkungan masyarakat tempo dulu. Mungkin bagi anak kelahiran tahun 2000 ke atas, terutama di kalangan perkotaan, permainan ini sudah tidak dikenal lagi, karena memang bukan zamannya lagi.
Pada 70 tahun yang lalu, permainan tradisional ini pun sudah dikenal oleh masyarakat Jawa. Terbukti, istilah permainan ini sudah terekam di Baoesastra (Kamus) Djawa karya W.J.S. Poerwadarminta terbitan tahun 1939 di Weltevreden Batavia (Jakarta). Pada halaman 41 kolom 1 disebutkan bahwa makna benthik, salah satunya adalah nama permainan. Memang tidak dijelaskan mendetail, namun permainan ini terus hidup di masyarakat Jawa dengan pola dan peralatan seperti yang sudah disebutkan di atas.
Benthik, begitulah sebutannya, dibuat dari 2 potong stik atau kayu bentuk silinder dengan panjang berbeda. Satu potong kayu dengan panjang sekitar 30 cm, yang satunya sekitar 10 cm. Kedua potongan stik tersebut biasanya berdiameter sama, sekitar 2-3 cm. Biasanya potongan kayu tersebut diperoleh dari ranting-ranting pohon yang tumbuh di sekitar halaman, seperti pohon asem, pohon mlandhing (petai Cina), pohon jambu biji, pohon mangga, dan sejenisnya. Ranting pohon yang diambil biasanya dari kayu yang ulet dan tidak mudah patah. Bisa jadi, alat benthik dibuat dari potongan bambu yang dibuat silinder dengan ukuran yang sama seperti di atas.
Cara bermainnya pun bisa dianggap mudah. Bisa dilakukan dengan cara beregu atau individu. Jika dilakukan beregu, bisa jadi satu regu (kelompok) terdiri dari 3 atau 4 anak. Ketika satu regu bermain, maka regu yang lain mendapat giliran jaga. Setiap regu secara bergantian memainkan benthik hingga semua mendapat giliran. Setelah selesai, bergantian yang jaga mendapat giliran bermain. Jika dilakukan individu, misalnya 5 anak, maka satu anak mendapat giliran bermain, maka 4 anak lainnya mendapat giliran jaga. Jika anak yang bermain sudah kalah, maka digantikan temannya secara bergantian. Regu atau anak yang mendapatkan angka terbanyak biasanya dianggap sebagai pemenang.
Sebelum permainan dimulai, anak-anak membuat sebuah lubang di tanah dengan ukuran memanjang sekitar 7-10 cm, lebar 2-3 cm, Lubang itu digunakan sebagai tolakan melemparkan stik pendek. Setelah itu anak-anak melakukan hompimpah atau sut. Permainan benthik biasanya terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama, anak yang mendapat giliran bermain, meletakkan stik pendek di atas lubang, lalu dengan bantuan stik panjang, stik pendek dilempar sekuat dan sejauh mungkin. Jika benthik pendek tertangkap tangan, maka anak yang bermain dianggap kalah, sementara yang menangkap stik pendek mendapat nilai, umpamanya dengan dua tangan 10 poin, satu tangan kanan 25 poin, satu tangan kiri 50 poin, dan sebagainya. Jika tidak tertangkap, salah satu anak yang jadi melemparkan stik pendek ke arah stik panjang yang telah ditaruh di atas lubang dengan posisi melintang. Jika stik panjang terkena, maka anak yang bermain kalah.
Jika stik pendek tidak mengenai stik panjang, anak yang bermain dapat meneruskan permainan ke tahap kedua. Pada tahap ini, anak yang bermain lalu melemparkan stik pendek ke udara lalu dipukul sekuat tenaga dengan stik panjang agar terlempar sejauh mungkin. Jika stik pendek yang dilempar tertangkap oleh lawan, maka anak yang bermain dianggap kalah. Ia harus menghentikan permainan. Jika tidak tertangkap tangan, maka anak yang jaga harus melemparkan stik pendek ke arah lubang yang telah dibuat. Jika saat dilempar ke arah lubang, stik pendek terpukul oleh anak yang bermain dan terlempar jauh kembali ke arah sebaliknya, maka perolehan poin yang didapat akan semakin banyak. Sebab cara penghitungan poin dengan menggunakan stik panjang, diawali dari lubang ke arah jatuhnya stik pendek. Jika stik pendek yang dilempar ke arah lubang dan tidak terpukul oleh si pemain, maka penghitungan juga dilakukan mulai dari lubang ke arah jatuhnya stik pendek yang lolos dari pukulan kedua. Jika lemparan stik pendek dari lawan masuk ke arah lubang, maka poin yang dikumpulkan oleh anak yang bermain dianggap hangus.
Apabila pada tahap kedua, anak yang bermain mendapatkan poin, maka bisa dilanjutkan ke tahap ketiga. Pada tahap ini, anak yang bermain harus meletakkan stik pendek ke dalam lubang. Satu ujung stik dimasukkan ke dalam lubang, sementara ujung stik lainnya timbul di permukaan tanah. Anak yang bermain harus bisa memukul ujung stik yang timbul agar mengudara lalu dipukul sejauh mungkin. Jika tidak dapat memukul kedua kali, maka ia dianggap kalah atau mati dan harus digantikan dengan pemain lainnya. Namun jika berhasil memukul lagi satu kali, dua kali atau seterusnya, maka pemain berhak untuk mengalikan hasil tersebut. Jika terlempar sejauh 20 kali stik panjang dan terpukul 1 kali lagi, maka ia mendapatkan poin 20. Jika ia mampu memukul 2 kali sebelum terlempar jauh, maka ia berhak melipatkan menjadi dua kali. Bisa jadi, ukuran untuk yang berhasil memukul dua kali atau seterusnya, memakai alat ukur benda lain, misalnya peniti, gabah, dan sebagainya. Semakin ia memukul berulang kali sebelum terlempar jauh, memungkinkan ia akan finish lebih dulu. Begitu seterusnya dalam permainan benthik. Ia akan mengulangi dari awal, apabila tidak “mati” dalam permainan.
Ada sisi positif dari permainan tradisional benthik ini. Anak akan diajarkan untuk bersosialisasi dengan teman bermain. Jika ia tidak dapat bersosialisasi dengan baik, pasti teman bermain akan menjauhinya. Begitu pula sportivitas akan diuji dalam permainan ini. Setiap anak yang tidak berjiwa sportif pasti lama-kelamaan juga akan ditinggalkan oleh rekan bermain.
Sayang, permainan itu pada saat ini hanya tinggal kenangan. Paling hanya tinggal didokumentasi lewat tulisan-tulisan, VCD, maupun film-film dokumenter, maupun dikoleksi oleh museum-museum.

Teks dan foto : Suwandi

Jumat, 14 Januari 2011

pesan alam

kawan..
dengarlah berita ini
tangisan alam atas perbuatan tangan-tangan setan yang merusaknya
andai kau dengar
mereka menangis merintih menanggung derita
kawan..
bangunlah!
alam membutuhkan kita
bangkitlah kawan
bangun negrimu kembali
menjadi negri zamrud katulistiwa